Korupsi selalu diposisikan sebagai musuh negara, dengan kerugian besar yang ditimbulkan terhadap masyarakat luas. Namun, bagaimana jika korupsi dilakukan bukan demi kepentingan pribadi, melainkan untuk memperbaiki fasilitas publik?
Inilah isu kritis yang diangkat dalam acara Bedah Buku “Melawan Hukum Facet dalam Rumusan Tindak Pidana Korupsi”, karya Sari Mandiana, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UKDC (20/06/25). Acara ini dimoderatori oleh Retno Dewi Pulung Sari, yang memandu diskusi dengan penuh kedalaman dan ketajaman.
Buku karya Sari Mandiana menyoroti secara kritis ajaran sifat melawan hukum facet, yaitu salah satu unsur dalam rumusan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 37 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Fokus pembahasan terletak pada bagaimana sifat “melawan hukum” dalam konteks korupsi tidak hanya dimaknai secara formil (bertentangan dengan undang-undang), tetapi juga secara materiil, yakni bertentangan dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat.
Dalam diskusi, Sari Mandiana memberikan contoh hipotetis. Seorang pejabat mengalihkan anggaran kegiatan formal untuk membangun toilet di sekolah-sekolah pelosok yang tak layak, tanpa melalui prosedur legal yang ditetapkan. Secara hukum formal, ia telah melakukan korupsi. Namun secara sosial, tindakan ini menciptakan manfaat langsung dan nyata bagi masyarakat.
Sari Mandiana dalam bukunya menjelaskan bahwa melalui ajaran melawan hukum materiil fungsi negatif, perbuatan yang secara tekstual melanggar hukum bisa saja tidak dipidana apabila terbukti lebih menguntungkan masyarakat dan didasarkan pada itikad baik. Ini mengacu pada pandangan pakar hukum seperti Moeljatno, Komariah Sapardjaya, dan Schaffmeister, yang menggarisbawahi pentingnya alasan pembenar di luar KUHP, terutama bila suatu tindakan mencerminkan asas proporsionalitas, subsidiaritas, dan non-subsosialitas.

“Dalam melawan hukum khusus atau facet, dapat diajukan alasan pembenar sebagai alasan penghapus pidana di luar KUHP, melalui asas-asas hukum pidana seperti proporsionalitas, subsidiaritas, dan non-subsosialitas,” ujar Sari Mandiana dalam sesi diskusinya
Pendekatan ini penting di tengah berkembangnya kompleksitas penegakan hukum saat ini, namun tetap perlu diawasi secara ketat agar tidak menjadi pembenaran atas penyalahgunaan kekuasaan. Pendekatna ini juga menghadirkan tantangan bagi pendekatan hukum yang terlalu legalistik. Sari Mandiana mendorong pembacanya untuk mempertimbangkan bahwa tidak semua perbuatan yang tampak “salah” secara hukum formal adalah salah secara moral dan sosial.
Menariknya, di akhir acara, terlihat banyak mahasiswa dan anak-anak muda yang justru menunjukkan antusiasme tinggi terhadap tema yang diangkat. Mereka menyampaikan rasa tertarik dan semangat untuk mendalami hukum lebih jauh, karena pendekatan yang ditawarkan dalam buku ini dirasa lebih “hidup” dan relevan dengan nilai keadilan yang mereka pahami.
Beberapa peserta bahkan menyampaikan bahwa acara ini memberi mereka perspektif baru: bahwa hukum tidak selalu tentang menghukum, tetapi juga tentang mencari jalan tengah yang bijak antara peraturan dan kemaslahatan. Diskusi pun ditutup dengan penuh semangat dan harapan agar kegiatan serupa bisa terus dilaksanakan, sebagai wadah pembelajaran hukum yang kritis, terbuka, dan inspiratif bagi generasi muda.
(Stephanie Chrismandani)