Suasana ruang VL 3 Barat pada Kamis siang, 9 Oktober 2025, dipenuhi antusiasme dan semangat reflektif. Mahasiswa lintas jurusan berkumpul untuk mengikuti acara bedah buku “Yesus dan Subversi: Praksis Teologi URM Bersama Rakyat Selama Era Orde Baru” karya Josef Widyatmadja. Acara ini bukan sekadar forum akademik, tetapi juga ruang perjumpaan gagasan tentang iman, keberanian, dan perjuangan keadilan sosial.
Kegiatan ini menghadirkan dua pembedah utama, yakni Aloysius Widyawan dan Deogracias Yoseph F., S.E., M.M., serta dimoderatori oleh Robertus Adi Nugroho. Dalam suasana diskusi yang hangat, para peserta diajak menelusuri makna iman yang bukan hanya berhenti pada doa, tetapi juga mendorong perubahan nyata di tengah masyarakat.
Dalam pemaparan pembicara, ditegaskan bahwa iman sejati memiliki dua wajah satu yang berlutut dalam doa, dan satu lagi yang berdiri tegak untuk melakukan transformasi sosial. Buku ini, sebagaimana disampaikan oleh Romo Widya, menawarkan arus balik dalam memahami teologibukan teologi yang lahir dari ruang akademis semata, melainkan dari realitas kehidupan rakyat kecil dan pergulatan sosial yang nyata.
Pesan ini menjadi pengingat bahwa iman tidak boleh berhenti pada ritus dan kontemplasi, melainkan harus diwujudkan dalam aksi nyata. Pertanyaan reflektif pun mengemuka
“Untuk apa kita beraktivitas sehari-hari? Apakah hanya untuk belajar dan berdoa, atau juga untuk mentransformasi diri dan lingkungan sekitar?” ujar Romo Widya

Sesi kedua menghadirkan Deogracias Yoseph F. yang mengawali refleksi dengan kisah Rasul Thomas. Ia menyoroti bagaimana Yesus tidak menghukum Thomas karena keraguannya, melainkan membuka ruang dialog yang jujur. Dari sinilah lahir pengakuan iman yang kuat: “Tuhanku dan Allahku.” Dalam konteks bedah buku, Thomas menjadi simbol keberanian untuk bertanya, meragukan, dan mencari kebenaran yang lebih dalam. Yoseph pun memosisikan dirinya sebagai “Thomas” pembaca kritis yang tidak menerima begitu saja, melainkan mengolah dan berdialog dengan gagasan yang ditawarkan buku.
Diskusi yang berlangsung selama dua setengah jam ini diakhiri dengan sebuah refleksi penutup yang kuat Robertus Adi menyampaikan bahwa acara ini bukan hanya tentang membedah sebuah buku, melainkan juga tentang membedah diri sendiri. Para peserta diajak untuk bertanya “Apakah iman kita masih punya nyali untuk mengguncang ketidakadilan? Untuk berpihak pada mereka yang tertindas?”
Yesus dan Subversi bukan sekadar buku tentang perlawanan, tetapi tentang keberanian untuk mencintai dengan cara yang dianggap melawan. Buku ini mengingatkan bahwa kasih sejati sering kali tampak subversif di tengah dunia yang lebih memilih diam daripada jujur, aman daripada benar.
Iman yang sejati, sebagaimana ditegaskan dalam acara ini, selalu membawa konsekuensi bukan untuk menenangkan penguasa, melainkan menghibur mereka yang menderita; bukan untuk mencari tepuk tangan, melainkan memperjuangkan keadilan. Dengan semangat itu, diharapkan setiap peserta membawa pulang kegelisahan yang menyala dalam diri, untuk terus bertanya
Yesus dan Subversi mengingatkan kita bahwa kasih sejati sering kali tampak “melawan” di tengah dunia yang memilih diam. Acara ini diharapkan dapat menjadi pemicu semangat bagi setiap peserta untuk terus berani berubah dan membawa perubahan di lingkungan sekitarnya.