Urbanisasi global yang kian pesat telah menimbulkan tantangan serius di berbagai negara, mulai dari keterbatasan hunian layak, krisis iklim, hingga ketimpangan pembangunan kawasan permukiman. Menjawab isu-isu tersebut, Habitat for Humanity Asia-Pacific menyelenggarakan Habitat Youth Assembly (HYA) 2025, sebuah forum internasional yang mempertemukan generasi muda dari berbagai negara di kawasan Asia-Pasifik untuk merumuskan solusi konkret dan inovatif.
Dalam forum prestisius yang berlangsung pada 24–26 Juni 2025 di Cebu, Filipina tersebut, Indonesia diwakili oleh tiga mahasiswa Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika (UKDC), yakni Maria Renwarin, Silfira Frumensia, dan Hawa. Ketiganya merupakan mahasiswa magang di Klinik PKP (Perumahan dan Kawasan Permukiman), dan tergabung dalam dua tim inovatif bernama ‘mbako dan REBATA, yang berhasil menembus 40 besar solusi terbaik dari ratusan ide yang dikirimkan oleh pemuda se-Asia Pasifik.
Habitat Youth Assembly merupakan ajang kolaboratif tahunan yang berfokus pada peran pemuda dalam mewujudkan kota yang inklusif, berkelanjutan, dan layak huni. Tahun ini, forum tersebut menghadirkan puluhan delegasi dari 8 negara Asia-Pasifik yang terlibat dalam berbagai sesi tematik dan lokakarya strategis. Materi yang diangkat meliputi strategi global Habitat, kepemimpinan pemuda dalam pembangunan kota, perumahan berkelanjutan, dampak perubahan iklim, serta penerapan inovasi teknologi dalam kawasan permukiman.
Sejumlah narasumber terkemuka dari berbagai lembaga internasional turut hadir, seperti United Nations ESCAP, Habitat for Humanity International, dan pelaku industri kreatif seperti CUBO Modular. Forum ini menjadi ajang penting untuk bertukar ide, membangun jejaring, serta menciptakan sinergi lintas budaya dan sektor.

Dalam kegiatan ini, Maria Renwarin, Silfira Frumensia, dan Hawa tidak hanya membawa dua proyek berbasis komunitas yang menonjolkan pendekatan lokal, namun juga menunjukkan kapasitas akademik dan keberpihakan sosial sebagai mahasiswa Arsitektur UKDC. Kedua proyek mereka terpilih sebagai 40 solusi terbaik karena mengangkat pendekatan inklusif dan keberlanjutan dalam perencanaan kawasan permukiman.
Selama kegiatan berlangsung, ketiga mahasiswa ini tidak hanya mewakili Indonesia dengan membawa solusi inovatif, tetapi juga memperoleh pengalaman luar biasa melalui interaksi dengan peserta lain dari berbagai negara dan latar belakang yang berbeda baik budaya, pendidikan, maupun sosial serta menjalin jejaring kolaboratif lintas negara yang membuka peluang besar di masa depan.
Forum ditutup dengan malam kebudayaan dan pengumuman 10 tim terbaik yang memperoleh pendanaan awal untuk mewujudkan proyek mereka. Meskipun tim ‘mbako dan REBATA dari Indonesia belum masuk dalam daftar penerima dana tersebut, pengalaman yang didapat sangat berharga.
“Lebih dari sekadar kompetisi, ini adalah ruang belajar yang sangat penting. Kami mendapat banyak masukan, perspektif baru, dan peluang kolaborasi internasional,” ujar Hawa salah satu anggota tim REBATA
Keikutsertaan mahasiswa UKDC ini tidak lepas dari peran Klinik PKP, sebuah unit pengabdian masyarakat berbasis riset dan komunitas yang berada di bawah naungan Program Studi Arsitektur UKDC. Klinik PKP secara aktif membimbing mahasiswa dalam mengembangkan solusi nyata untuk isu-isu perkotaan dan permukiman, dengan pendekatan partisipatif dan berkelanjutan.
Dosen pembimbing dari klinik PKP pak Sekar menyampaikan rasa bangga atas pencapaian mahasiswanya. “Ini menunjukkan bahwa mahasiswa kita bukan hanya kompeten secara akademik, tapi juga siap bersaing dan berkontribusi di level global. Mereka membawa suara masyarakat yang selama ini tidak terdengar ke forum internasional,” ujarnya.
Habitat Youth Assembly 2025 membuktikan bahwa peran pemuda tidak hanya penting, tetapi esensial dalam pembangunan kota yang lebih baik. Dengan wawasan global, kepedulian sosial, dan semangat kolaboratif, generasi muda mampu menjadi penggerak transformasi menuju kota yang lebih inklusif, adil, dan ramah lingkungan.
Bagi Maria, Silfira, dan Hawa, forum ini menjadi awal dari perjalanan yang lebih panjang. Mereka kembali ke tanah air dengan semangat baru, gagasan segar, dan jaringan global yang siap mendukung langkah-langkah mereka ke depan dalam membangun kawasan permukiman yang manusiawi dan berkelanjutan dari Indonesia, untuk dunia.
(Stephanie Chrismandani)